Senin, 03 Oktober 2022

Kriteria Pemilihan lokasi IPLT

Dalam melaksanakan pemilihan lokasi pembangunan IPLT, terdapat beberapa kriteria teknis maupun kriteria non-teknis. Kriteria penentu dalam menentukan lokasi IPLT dibutuhkan untuk menentukan skala prioritas lokasi IPLT. Dalam pelaksanaan pemilihan lokasi pembangunan IPLT, lokasi yang merupakan daerah banjir, longsor, patahan, dan sangat jauh dari badan air penerima tidak dapat dimanfaatkan sebagai lokasi IPLT.

Kriteria penentu dalam menentukan lokasi IPLT antara lain:

a. Jarak tempuh sarana pengangkutan dari wilayah pelayanan ke IPLT;
b. Kemiringan lokasi IPLT;
c. Waktu tempuh sarana pengangkutan dari wilayah pelayanan ke IPLT;
d. Tata guna lahan yang telah tertera pada RTRW;
e. Jarak lokasi IPLT dengan badan air penerima;
f. Legalitas dari lahan yang akan diperuntukkan untuk IPLT;
g. Batas administrasi wilayah; dan
h. Jenis tanah

Faktor-faktor pertimbangan yang telah ditetapkan tersebut selanjutnya dipilih mana yang diprioritaskan lebih tinggi dan mana yang lebih rendah. Pemberian angka pada parameter-parameter penentu akan mempermudah dalam menentukan lokasi lahan IPLT. Angka-angka yang diberikan merupakan perbandingan antar faktorfaktor pertimbangan yang ada. Berikut ini penjelasan mengenai faktor pertimbangan pemilihan lokasi IPLT.

a. Jarak tempuh sarana pengangkutan dari wilayah pelayanan ke IPLT
Jarak tempuh sarana pengangkutan dari wilayah pelayanan ke IPLT merupakan salah satu faktor utama dalam menentukan lokasi IPLT. Lokasi IPLT yang akan direncanakan diharapkan tidak terlalu jauh dengan lokasi pelayanan, karena pelayanan yang diberikan akan semakin efisien apabila wilayah pelayanan yang dilayani semakin dekat dengan lokasi IPLT.

b. Kemiringan lokasi IPLT
Kemiringan lahan merupakan salah satu faktor penting yang dapat mempengaruhi pemilihan unit pengolahan lumpur tinja. Unit pengolahan lumpur tinja diutamakan menggunakan pengaliran secara gravitasi, lahan yang memiliki kemiringan lahan antara 16–25% merupakan lahan yang efektif sebagai
lokasi IPLT.

c. Waktu tempuh sarana pengangkutan dari wilayah pelayanan ke IPLT
Waktu tempuh sarana pengangkutan dari wilayah pelayanan ke IPLT yang akan direncanakan diharapkan tidak membutuhkan waktu yang terlalu lama dari lokasi pelayanan.

d. Tata guna lahan pada RTRW
Lokasi IPLT pada wilayah yang memiliki tata guna lahan sebagai lahan pertanian dan lahan prasarana lingkungan merupakan lahan yang baik sebagai lokasi IPLT, karena lahan pertanian paling minim menimbulkan dampak negatif pada penduduk wilayah kota tersebut. Kriteria tata guna lahan yang dapat
digunakan sebagai lokasi IPLT terdiri dari lahan pertanian, perkebunan, industri, dan permukiman, dengan area permukiman sebagai area yang paling dihindari sebagai lokasi IPLT.

e. Jarak lokasi IPLT dengan badan air penerima
Badan air penerima yang dimaksud dalam pedoman ini berupa badan air permukaan, yang menjadi tempat penyaluran efluen yang telah diolah. Kriteria pertimbangan lokasi lahan IPLT yang dibutuhkan merupakan jarak lokasi IPLT dengan badan air penerima., ssemakin dekat lokasi IPLT dengan badan air
penerima, semakin pendek pipa pembuangan air limbah yang dibutuhkan.

f. Legalitas lahan
Legalitas lahan merupakan parameter yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan lokasi IPLT. Kesesuaian lahan IPLT yang tertera dalam RUTR/RTRW-nya, merupakan dukungan nyata dari Pemerintah Daerah terhadap rencana penyelenggaraan SPALD khususnya rencana pengembangan IPLT. Kondisi kepemilikan lahan yang akan digunakan sebagai lokasi IPLT hendaknya bukan lahan yang bermasalah. Kepemilikan lahan diutamakan pada lahan yang dimiliki Pemerintah Daerah. Dalam menentuk lokasi IPLT, perencana perlu menyesuaikan lokasi IPLT dengan rencana pengembangan tata ruang wilayah.

g. Batas administrasi wilayah
Batas administrasi wilayah menjadi kriteria yang perlu dipertimbangkan karena prasarana IPLT yang dibangun lebih baik terletak di dalam wilayah administrasi atau regional yang akan direncanakan.

h. Jenis tanah
Faktor pertimbangan jenis tanah terbagi atas 3 buah indikator pertimbangan jenis tanah. Tanah lempung
mempunyai diameter kurang dari 0,002 mm. Tanah lanau mempunyai diameter antara 0,002–0,053 mm.
Pasir mempunyai diameter 0,053–2 mm. Semakin besar ukuran diameternya semakin kurang baik untuk pondasi suatu struktur bangunan, termasuk struktur bangunan IPLT.

Karakteristik Lumpur Tinja

Karakteristik lumpur tinja terdiri dari (FSM,2012):

a. Nutrien
Nutrien yang terkandung dalam lumpur tinja berasal dari sisa proses pencernaan makanan manusia. Sisa
proses pencernaan makanan manusia yang berupa feses mengandung 10–20% Nitrogen, 20–50% Fosfor,
dan 10–20% Potasium, dan yang berupa urin mengandung 80–90% Nitrogen, 50–65% Fosfor, dan 50–80%
Potasium (Berger, 1960; Lentner,
et al., 1981; Guyton, 1992; Schouw, et al, 2002; Joensson, et al., 2005;
Vinneras,
et al., 2006).
1) Nitrogen
Konsentrasi nitrogen dalam lumpur tinja umumnya cukup tinggi dengan kisaran 10-100 kali lebih
tinggi dari konsentrasi Nitrogen di air limbah domestik. Nitrogen pada lumpur tinja bisa ditemukan
dalam bentuk Ammonium (NH
4-N), Ammonia (NH3-N), Nitrat (NO3-N), Nitrit (NO2-N), dan N
organik (Mitchell, 1989; Jonsson
et al., 2005).
2) Fosfor
Kandungan fosfor pada lumpur tinja bisa ditemukan dalam bentuk orthofosfat dan fosfat terikat
(Strande
et al., 2012).
b. pH
pH merupakan parameter yang penting dalam pemeriksaan lumpur tinja yang dapat memengaruhi
tahapan stabilisasi biologi. pH lumpur tinja umumnya berkisar 6,5 sampai 8 (Ingalinella,
et al., 2002; Cofie,
et al., 2006; Al-Sa’ed, Hithnawi, 2006), tetapi juga bisa bervariasi dari 1,5 sampai 12,6 (USEPA, 1994). Bila
pH lumpur tinja memiliki nilai di luar kisaran 6 sampai 9, hal ini dapat menghambat proses biologi dan
produksi gas metana pada proses anaerob (Strande
et al., 2012).
c. Padatan
Konsentrasi padatan pada lumpur tinja berasal dari berbagai materi organik
(volatile solid) dan materi
anorganik
(fixed solid), yang berbentuk materi mengapung, mengendap, koloid, dan tersuspensi. Parameter
yang dibutuhkan dalam pengukuran padatan yang terkandung dalam lumpur tinja terdiri dari
total solid
(TS), total suspended solid (TSS) dan total volatile solid (TVS) (Strande, et al., 2012).
d. BOD (
Biological Oxygen Demand)
BOD merupakan parameter yang mengindikasikan kandungan senyawa organik yang dapat terdegradasi
secara biologis. Lumpur tinja umumnya memiliki konsentrasi BOD yang lebih tinggi dari air limbah
domestik.
e. COD (
Chemical Oxygen Demand)
COD merupakan parameter yang mengindikasikan kandungan senyawa organik pada lumpur tinja baik
yang dapat terdegradasi secara biologis maupun non biologis.
f. Minyak dan lemak
Lumpur tinja dapat mengandung minyak dan lemak yang berasal dari minyak rumah tangga, daging,
biji-bijian, dan kacang-kacangan. Parameter minyak dan lemak perlu diperiksa karena minyak dan lemak
dapat menurunkan kemampuan mikroba untuk mendegradasi senyawa organik. Hal ini disebabkan
minyak dan lemak dapat mengurangi kelarutan, meningkatkan lapisan
scum di tangki pengendapan, yang
dapat menyebabkan masalah dalam tahap pengoperasian.

PEDOMAN PERENCANAAN
TEKNIK TERINCI INSTALASI
PENGOLAHAN LUMPUR TINJA (IPLT)
26
g. Pasir dan Kerikil
Pasir dan kerikil dapat meningkatkan potensi penyumbatan pipa dan pompa. Pasir dan kerikil pada
lumpur tinja bisa berasal dari pasir yang terbawa oleh penghuni dan pasir yang terbawa saat banjir.
h. Sampah
Sampah banyak ditemukan dalam lumpur tinja karena keterbatasan informasi mengenai sampah-sampah
yang tidak boleh dibuang ke dalam unit pengolahan setempat, seperti pembalut, popok bayi, kayu, plastik
kemasan, dan lain-lain. Akumulasi sampah pada lumpur tinja dapat mengakibatkan permasalahan dalam
kegiatan pengangkutan lumpur tinja dan pengolahan lumpur tinja. Permasalahan yang dapat timbul antara
lain penyumbatan pada pipa penyedotan lumpur tinja dan gangguan pengolahan di unit pengolahan
lumpur tinja.
i. Patogen
Berikut ini merupakan organisme patogen yang bisa terkandung dalam lumpur tinja:
1) Bakteri Koliform
Bakteri koliform merupakan bakteri yang umumnya ditemukan pada saluran pencernaan manusia.
Bakteri koliform umumnya digunakan menjadi indikator kontaminasi bakteri patogen.
2) Cacing dan Telur Cacing
Telur cacing merupakan salah satu indikator dalam menentukan efektivitas penyisihan organisme
patogen dalam lumpur tinja. Hal ini juga terkait dengan ketahanan telur cacing dalam pengolahan
lumpur tinja. Cacing yang umum ditemukan dalam lumpur tinja terdiri dari
nematode, cestode, dan
trematode. Ketiga jenis cacing ini merupakan parameter yang perlu dipantau karena dapat menginfeksi
manusia. Cacing
Ascaris lumbricoides, merupakan parameter yang paling umum digunakan sebagai
indikator karena kemampuan telurnya untuk bertahan di lingkungan (Nordin,
et al., 2009).
Pengukuran telur cacing di Indonesia pada sampel air limbah domestik merupakan parameter
yang masih belum umum dilaksanakan di laboratorium pengujian di Indonesia. Namun parameter
ini merupakan salah satu parameter yang perlu diuji, walaupun disesuaikan dengan kemampuan
laboratorium yang tersedia pada daerah perencanaan.

Penanganan Lumpur Tinja

 Lumpur tinja mengandung organisme infeksius yang masih bisa bertahan hidup walaupun tinja sudah

mengalami pengolahan di unit pengolahan setempat. Organisme infeksius yang umumnya terkandung
berupa bakteri patogen, telur cacing, dan cacing parasit. Bakteri patogen dapat bertahan hidup hingga dua
minggu, sedangkan telur cacing dan cacing parasit dapat bertahan sampai tiga tahun di lingkungan. Hal ini
menyebabkan lumpur tinja perlu pengolahan dan penanganan yang sesuai dengan kaidah teknis.
Pengelolaan lumpur tinja yang tidak sesuai dengan kaidah teknis dapat menyebabkan transmisi penyakit
kepada manusia. Beberapa pengelolaan lumpur tinja yang tidak sesuai kaidah teknis serta dapat menimbulkan
risiko, antara lain:
a. Pembuangan lumpur tinja ke lingkungan
Lumpur tinja yang dibuang ke badan air permukaan, melalui drainase atau lahan kosong dapat
menyebarkan organisme patogen ke lingkungan dan menyebabkan infeksi kepada manusia yang tinggal di
sekitarnya.
b. Penggunaan lumpur tinja yang belum diolah untuk keperluan pertanian
Lumpur tinja memiliki komposisi nutrien yang baik sebagai pupuk dan pembenah tanah
(soil conditioner),
sehingga pada beberapa daerah lumpur tinja yang telah disedot digunakan secara langsung sebagai
pupuk di area pertanian. Kondisi ini dapat menyebabkan organisme patogen yang terkandung di dalam
lumpur tinja menyebar di area pertanian dan dapat mengkontaminasi para petani serta masyarakat yang
mengkonsumsi hasil pertanian tersebut.
c. Penanganan lumpur tinja tanpa Alat Pelindung Diri (APD)
Penanganan lumpur tinja oleh pekerja dilaksanakan sesuai dengan tahapan yang terdiri dari penyedotan,
pengangkutan, dan pengolahan lumpur tinja. Pekerja yang tidak menggunakan APD dapat terpapar atau
terkena kontak langsung dengan lumpur tinja pada setiap tahapan penanganan lumpur tinja, sehingga
berisiko tinggi terkena infeksi dari organisme yang terkandung di dalam lumpur tinja.

Rabu, 09 September 2020

DESINFEKSI (KLORINASI,OZON,UV) - ppt download

DESINFEKSI (KLORINASI,OZON,UV) - ppt download: DESINFEKSI KLORINASI Klorinasi (chlorination) adalah proses pemberian klorin ke dalam air yang telah menjalani proses filtrasi dan merupakan langkah yang maju dalam proses purifikasi air. Banyak digunakan dalam pengolahan limbah industri, air kolam renang, dan air minum di negara-negara sedang berkembang karena sebagai desinfektan, biayanya relatif murah, mudah, dan efektif

Kamis, 30 Januari 2020

SANITASI TEMPAT-TEMPAT UMUM - ppt download

SANITASI TEMPAT-TEMPAT UMUM - ppt download: DEFINIISI Tempat – tempat umum adalah : suatu tempat dimana orang banyak berkumpul untuk melakukan kegiatan baik secara insidentil maupun secara terus menerus.

Rabu, 17 Oktober 2012

Penanganan Tinja


FAKTOR YG PERLU DIPERHATIKAN DLM PENANGANAN TINJA

Oleh : Zulfikar, MPH
Faktor Teknis
a. Dekomposisi tinja
  terjadi secara alamiah, sehingga akan berubah menjadi bahan yang stabil, tidak berbau, dan tidak mengganggu. Aktivitas utama proses dekomposisi:
        Pemecahan senyawa organik kompleks, seperti protein dan urea, menjadi bahan yang lebih sederhana dan lebih stabilPengurangan volume dan massa (sampai 80%) dengan hasil gas metan, karbon dioksida, amonia, dan nitrogen yang dilepaskan ke atmosfer, bahan-bahan yang terlarut dalam keadaan tertentu meresap ke dalam tanah di bawahnyaPenghancuran organisme patogen yang dalam beberapa hal tidak mampu hidup dalam proses dekomposisi, atau diserang oleh banyak jasad renik di dalam massa yang tengah mengalami dekomposisi. berlangsung dalam suasana aerobik atau anaerobik. Proses anaerobik tersebut misalnya terjadi pada kakus air (aqua privy), tangki pembusukan (septic tank), atau pada dasar lubang yang dalam. Atau dapat pula terjadi secara aerobik, seperti pada dekomposisi tertentuDi samping itu, dekomposisi dapat terdiri lebih dari satu tahap, sebagian aerobik dan sebagian lagi anaerobik, tergantung pada kondisi fisik yang ada. Sebagai contoh, proses anaerobik berlangsung dalam septic tankeffuent cair meresap ke dalam tanah melalui saluran peresapan dan meninggalkan banyak bahan organik pada lapisan atas tanah. Bahan organik itu diuraikan secara aerobik oleh bakteri saprofit yang mampu menembus tanah sampai kedalaman 60 cm
b. Kuantitas tinja manusia
Kebiasaan makan
Kondisi kesehatan
Kondisi psikologis
Kehidupan agama
Kondisi sosek
Kebiasaan hidup
c. Pencemaran tanah dan air tanah
d. Penempatan sarana pembuangan tinja
Tidak ada aturan pasti
Bagian yg lebih rendah
Jarak min 15 m apabila pd daerah yg lebih tinggi
Pada tanah berpasir dan lbh rendah jarak bisa 7,5 m
Dasar panampung 3 m diatas permukaan air tanah
Jika tanah karang/ kapur kemungkinan pencemaran lbh tinggi
e. Perkembangbiakan lalat pd tinja
Fototropis positif (autofototropik)
Membuat perangkap dari botol yg dimasukkan ke dlm lobang
Memasukkan desinfektan
Memasukkan larvasida (sodium arsenit)
Menyemprot jamban dg pestisida
f. Penutup lubang
Mencegah masuknya lalat
Mengurangi bau
Malas menutup kembali
Terjadi pengembunan
Tutup yg tdk diengsel mudah hilang
g. Aspek Teknis

2. Faktor non teknis
a.Manusia
Tipe jamban yg disukai
Masalah privasi
Pemisahan wanita dan pria
Jumlah jamban utk tpt umum
b.Biaya
Relatif (Murah pembangunan, mahal pemeliharaan)